BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Menentukan proses prilaku
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,sehingga masyarakat mengerti
arti hukum yang ada di indonesia, dan masyarakat bisa lebih memahami hukum
keadilan yang ada ,adanya ketegasan hukum bisa membuat masyarakat lebih tenang
karna adanya keadilan dalam bermasyarakat. Hukum kini sangatlah lemah, maka
dari itu kita harus bisa mengerti hukum yang kini menyelimuti negara kita.
Adanya kelemahan hukum seorang pelaku pidana sangat santai dengan masalah yang
di dapatnya karana ia mendapat hukum tidak sesuai dengan kesalahan yang ia
perbuat.
Ada beberapa pandangan hukum
yang berlaku di indonesia, tergntung penegaknya saja lagi yang berwewenang
untuk memberikan hukum yang sesuai dengan kesalahan. Adanya ketidak tegasan
hukum di indonesia membuat si pelaku tidak jera, di karenakan kurangnya
ketegasan dalam menyikapi kesalahan yang di perbuat, dan ada unsur suap seperti
uang, si pelaku jelas tidak mendapatkan hukuman yang sesuai dengan
undang-undang. Begitu juga dengan penegak hukumnya, tergiur akan nominal yang
di berikan, maka ia lupa akan kewenangan dalam penegakan hukum yang adil
berdasarkan undang-undang yang sudah di terapkan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berawal dari latar belakang
tersebut, saya
mencoba menyampaikan permasalahan antara lain:
1.
Bagaimana
kebijakan hukum di Indonesia ?
C.
TUJUAN
Selain
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah saya tentang menyikapi kurangnya
ketegasan hukum di Indonesia, kita juga bisa tahu bagaimana keadaan hukum di
Indonesia dan cara untuk menyikapinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
KETEGASAN HUKUM
Sistem Hukum di kembangkan
berdasarkan sumbernya, masyarakat ingin mendapatkan kehidupan yang adil dan
sejahtera. Dengan ini hukum tidak identik dengan keadilan tetapi bertujuan
untuk mewujudkan kepentingan rakyat.
Dengan demikian hukum menjadi
fungsi ketertiban masyarakat dan hukum perlu juga memberikan perspektif
kedepan. Masyarakat di harapkan mentaati hukum bukan karna takut terhadap
sanksi yang di berikan oleh hukum tetapi menmyadari hukum sebagai kontrak
sosial yang patut di taati dan menjadi pencerminan keadilan.[1]
Ketegasan di sini ialah,
tidak memilih mana seseorang yang harus di tolong dan mendapat keadilan secara
baik. Ketegasan mengacu kepada sistem kerja penegak hukum yang propesiaonal
sehingga hukum dapat di laksanaka
Berdasarkan kebutuhan untuk mengorganisasikan reaksi yang demikian ini , maka
hukum yang cocok di pakai ialah hukum pidana. Dalam mengamati fungsi hukum
pidana dengan demikian tampak bahwa hubungan antar individu dengan masyarakat
terjadin secara langsung. Artinya bahwa perbuatan anggota masyarakat menyerang
hati nurani sosial.
Hukum di Indonesia saat ini kurang baik, masih
bisa di interpensi. Negara kita belum terbebas, untuk lebih bisa menegakkan
hukum kita harus berani melawan atau menegakkan hukum tersebut , bila kita
merasa ada keganjalan dalam mengatasi sebuh masalah, jangan takut akan
bersuara. Karna kita tau itu sebuah kesalahn kenapa kita tidak bisa melawan
hukum yang kurang adil di indonesia, itu semua terjadi untuk kebaikan negara
kita agar tidak adanya hukum yang lemah.
Hukum ialah penjeraan dan sekaligus penangkalan
,dan hukum ganjaran. Penjeraan sebagai efek hukum menjauhkan siterhukum dari
kemungkuinan mengulangi kejahatan yang sama. Hukum sebagai penangkalan
tercermin pula pada kasus-kasus hukum mati karena pelanggaran undang-undang. Dalam
kasus semacam itu, di mana hukum di
maksud sebagai penjeraan dan
penangkalan, setiap eksekusi mati mengahiri kesempatan bagisi terhukum untuk
membuktikan bahwa ia jera dari kejahatan. dengan benar dan seimnabang. Tidak banyak di
temukan penegak hukum yang adil dalam
melaksanakan tugas, sehingga tidak ada
keadilan yang di dapat bagi kaum yang lemah. Kurangnya kinerja penegak hukum
yang tegas sehingga hukum di indonesia bisa di katakan lemah.[2]
Pengertian hukum tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat. Marcus tullius Cicero (106-43 SM), ahli hukum
terbesar bangsa romawi , pernah mengatakan, dimana ada masyarakat disitu ada
hukum ( ubi societas, ibi ius). Selanjutnya pengertian hukum pun tidak
dapat dipisahkan dalam Negara dalam arti luas
( masyarakat bernegara ).
Berbicara tentang Negara,
kita berbicara tentang organisasi
kekuasaan, sehingga hukum pun erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Seperti dinyattakan oleh
Mochtar Kusumaatmaja (1970: 5), hukum tanpa kekuasaan adalahb angan-angan dan
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaanya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya.[3]
2.
HUKUM DI INDONESIA
Perkembangan hukum di Indonesia menimbulkan
berbagai reaksi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Reaksi ini tidak terlepas
dari berbagai faktor baik dari dalam lembaga penegak hukum itu sendiri maupun
pengaruh dari luar. Ketidak profesionalisme para aparat penegak hukum itu
sendiri yang menciderai wibawa hukum di Indonesia, baik sifat Arogansi sampai
keterlibatan penegak hukum dalam kasus hukum yang sedang di tanganinya.
Perilaku aparat penegak hukum yang demikian seyogianya wajib dilenyapkan dari
NKRI yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Jika dalam dunia perdagangan
pembeli adalah Tuan, motto inilah yang seharusnya di terapkan oleh aparat
penegak hukum, “Masyarakat adalah Tuan”. Bukankah karena keberadaan masyarakat,
ia baru ada? Bukankah tugasnya untuk kepentingan masyarakat?
Saat ini Hukum di Indonesia juga di pengaruhi
oleh kekuatan politik, perang kepentingan politik berimbas kepada penegakkan
hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan umum atau masyarakat luas,
keprihatinan masyarakat atas kasu-kasus yang terjadi baik yang sedang di proses
oleh aparat penegak hukum maupun yang telah selesai di proses dan mendapat
kekuatan hukum tetap berdampak kepada kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat
kepada aparat penegak hukum, yang berakibat kepada tindakan Main hakim sendiri
(Eigen Rechting) atas apa yang menurutnya mengganggu kepentingan pribadi
ataupun kelompoknya.
Hal lain yang mempengaruhi citra dan pandangan
masyarakat terhadap penegakkan hukum adalah pemberitaan oleh media yang tidak
berimbang kepada publik. Media sebagai pilar demokrasi yang mempunyai tugas
memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan pengetahuan haruslah patuh
kepada nilai dan azas hukum. Dalam realita sehari-hari Media terkesan
menciptakan satu peradilan publik yang membentuk satu opini publik yang bebas
memvonis orang salah atau benar tanpa melalui prosedur yang di atur dalam
perundang-undangan, hal ini bertentangan dengan azas praduga tak bersalah
(presumption of innocence). Azas ini di tujukan ke arah tegaknya hukum, keadilan,
perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum.[4]
Melihat hukum yang ada di Indonesia sangat
memprihatinkan, dimana hukum bisa dijual belikan tidak jarang pula lebih
mengedepankan moral kemanusiaannya. Karena aparat hukumnya mengkesampingkan
hukum dan lebih mengedepankan sisi kemanusiaannya, terlihat jelas hukum di
indonesia lemah. Beda lagi dengan seorang koruptor yang merugikan negara ,
mereka juga bisa bebas atau mendapatkan hukuman tidak sesuai dengan tindak
kejahatannya. Seharusnya bagi para koruptor hukuman yang patut ya hukuman mati,
akan tetapi hukum di Indonesia hukuman bagi koruptor masih sangat ringan, ada
pula koruptor yang tidak tersentuh hukum.
Letak kesalahan hukum di Indonesia adalah
aparat hukum tidak tegas , Selain itu juga hukum masih dikesampingkan dan hukum
dapat dibeli. Oleh karena, aturan demikian tidak membuat jera para pelaku
tindak pidana.
Hukum di indonesia terlalu lemah , sehingga
dapat di manfaatkan oleh oknum yang memmerlukan uang, dengan uang ia memberikan
sansi yang tidak sesuai dengan kesalahan yang di buat seorang pelaku tersebut,
ia masih bisa keluar masuk tahanan dengan semaunya.
Ketimpangan perlakuan hukum di negara Indonesia
sudah banyak terjadi dalam masyarakat. Hal ini menggambarkan betapa lucunya
hukum di Indonesia ini, negara yang dikenal sebagai negara hukum beserta
perangkatnya tentu sudah sangat mengerti bagaimana memberlakukan hukum bagi
warga negaranya. Bagaimana seharusnya hukum tersebut tidak memandang siapapun,
karena dimata hukum semua warga negara derajatnya sama. Namun hal tersebut
seolah-olah hanya menjadi hal utopis bila melihat kenyataan yang terjadi di
Indonesia. kaum pejabat dan memiliki uang yang banyak seakan-akan dapat membeli
hukum. Mereka tidak takut hukum dan aturannya, bahkan mereka dapat menawar
sangsi hukum jika mereka diketahui melakukan pelanggaran hukum. Berbeda dengan
warga biasa yang hanya pasrah dan menaati hukum sesuai prosedur dan juga
menerima sangsi jika melakukan pelanggaran sebagaimana mestinya.
Beberapa contoh ketimpangan perlakuan hukum
antara pejabat dengan warga biasa di Indonesia salah satunya adalah adanya
fenomena penjara mewah yang baru-baru ini mulai terkuak. Penjara mewah tersebut
sengaja dibuat sebagai suatu konsep dengan prinsip yang mampu membayar maka
akan mendapatkan fasilitas baik di dalam penjara, sedangkan yang tidak mampu
membayar maka harus siap menerima fasilitas buruk dalam penjara yang bahkan
kurang manusiawi. salah satu contoh kasusnya adalah di Rutan Salemba Jakarta,
dimana dalam berbagai pemberitaan media menyebutkan, para tahanan kasus korupsi
harus membayar Rp 30 juta untuk menempati blok penjara yang dilengkapi
fasilitas mewah. Dari fakta tersebut terbukti terdapat oknum-oknum petugas
penjara yang melakukan bisnis kotor di dalam rutan.
Salah satu contoh lagi bobroknya pemerintah
Indonesia khususnya para pejabat dalam mempermainkan hukum terlihat dari kasus
Gayus Tambunan. Gayus sendiri merupakan terdakwa kasus penggelapan pajak dan
dituntut hukuman 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun namun kemudian di vonis
bebas karena tidak ada pihak pengadu kasus gayus tersebut. Beredar kabar bahwa
ada kucuran sejumlah uang kepada polisi, jaksa, hingga hakim masing-masing Rp 5
miliar sehingga Gayus di vonis bebas. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sesuai
pengakuan Gayus yang mengaku bahwa praktek yang dia lakukan melibatkan
sekurangnya 10 rekannya, mengatakan kasus markus pajak dengan aktor utama Gayus
Tambunan melibatkan sindikasi oknum polisi, jaksa, dan hakim. Fenomena kasus
Gayus tersebut cukup jelas menjelaskan bahwa adanya oknum-oknum perangkat hukum
negara yang seharusnya sangat paham akan hukum dan fungsinya, justru melakukan
pelanggaran terhadap hukum itu sendiri demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Padahal dalam Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Ketimpangan perlakuan hukum terhadap orang
biasa dengan para kaum pejabat dan orang kaya tentu juga dapat dilihat dari
fenomena yang menimpa Mbah Minah. Kasus tuduhan pencurian karena memetik tiga
butir buah kakau di kebun sebuah perusahaan tanpa ijin. Fenomena kasus yang
menimpa Mbah Minah ini sangat tepat sekali dijadikan bahan perbandingan dengan
kasus Anggodo, yakni seorang makelar kasus yang telah terbukti melakukan
percobaan penyuapan terhadap sejumlah petinggi KPK namun ia sama sekali tidak
diproses hukum sebagai tersangka dengan jalan kabur ke Singapura. Berbeda
dengan Mbah Minah yang hanya bisa pasrah menjalani proses hukum karena tuntutan
perusahaan tempat dia memetik kakau, Anggodo dengan kekuatan uang dan kemampuan
melobby pihak yang berwajib mampu membeli harga diri pejabat negara serta
menawar proses hukum.
Masih banyak fenomena-fenomena ketimpangan
perlakuan hukum yang sangat jelas terjadi di dalam kehidupan masyarakat negara
Indonesia. Hukum yang sehat tidak hanya memberikan perlindungan berdasarkan
status sosial. Melainkan kepada siapapun yang warga negara yang dikenai hukum
tersebut. Hukum dapat menjamin hak dan kewajiban manusia sebagai warga negara.
Namun fenomena yang justru terjadi di Indonesia sangat kental dengan
ketimpangan perlakuan hukum. Terdapat juga ulah mafia-mafia hukum yang
menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan pribadi dan bebas dari
jeratan hukum.[5]
Ternyata tidak hanya hukum yang dapat di beli, tetapi sekarang adanya money
politik, yaitu, Rakyat memilih karna ada iming-iming janji yang menggiurkan,
dan yang pertama di berikan kepada
masyarakat ialah uang, dengan syarat memilih kader atau partai yang telah
memberikan uang, dengan itu, partai tersebut mendapatkan banyak suara rakyat.
Tidak ada ketegasan untuk hukum di indonesia, memang yang membuat kecurangan
seperti itu tidak banyak. Tetapi itu mampu membawa aparat penegak hukum yang
lain untuk berbuat curang.
Ketidakstabilan hukum yang berlaku di indonesia
mengakibatkan seorang bisa mengulangi perbuatannya lagi, karna ia berfikir
dengan uang ia tidak akan di hukum. Itu semua di karenakan kurangnya keimanan
seorang penegak hukum di negara kita.
3. KETETAPAN
HUKUM
Harus ada ketetapan atau
kebijakan dengan hukum yang berlaku di indonesia, apapun itu masalah dan tindak
pidanax. Ketetapan hukum yang berlaku haruslah sesuai dengan apa yang ada di undang-undang,
ada sebuah ketetapan hukum tetapi tidak di jalankan secara adil , karena tidak
adanya keseimbangan dalam penegak hukum dan pelaku pidana. Adanya ketetapan
hukum dapat membuat hukum di indonesia di jalankan dengan keadilan dan
ketegasan yang berlaku.
Hukum tumbuh dengan
berpangkal pada perundang-undangan , apabila hukum menghimpun hasil dari satu
masa pertumbuhan sebelumnya. Maka akan berpengaruh besar terhadap sejarah
hukum, sebagai suatu gagasan mengenai hak dan kebebasan yang di dalam perkemnbangannya
sesuai dalam hukum.[6]
Hukum itu bertugas memenuhi
kehendak masyarakat yang paling rendah di nyatakan sebagai tujuan ketertiban
hukum. Pada abad ke 19 hukum adalah meninggalkan istilah hak yang dua rangkap
maknanya dan memisahkan antara tuntutan dan kebutuhan permintaan yang di akui.[7]
4. SUBJEK HUKUM
a. Hak dan kewajiban yang dapat
di miliki oleh seorang subjek huku itu berbeda menurut perbedaan susunan
persekutuan hukum di mana mereka menjadi anggotanya.walaupun ada susunan hukum
yang sama, mungkin pula adanya perbedaan hak atau kewajiban dari subjek hukum
b. Karena orang di akui oleh
subjek hukum, dalam dasarnya juga menentukan apa yang menjadi nasib masyarakat
dan persekutuan hukum yang ia menjadi anggotanya.
c. Hukum itu pernyataan manusia
tentang apa yang di sadari sebagai adil dalam pergaulan manusia sesama manusia.
Dan hukum dalam dasarnya akan berubah,dengan merubah kesadaran manusia dalam
adil tidak dalam pergaulan hidup tadi.
Maka ketetapan hukum tidak
dapat di ganggu gugat, karena itu dapat menyalahi aturan yang beralaku dalam
undang-undang. Penegak hukum harus lebih ekstra dalam menegagkan hukum di
indonesia , dengan memperlakukan tersangka dengan hukuman yang sesuai dengan
apa yang sudah di lakukan.
Hukum ada juga yang tertulis
,tetapi di sini akan di abaikan karena
di lihat dari sudut tujuan kitab ini, di anggap kurang begitu penting.
Hukum ialah keadilan suatu
sifat khas , pada hukum yang tidak dapat ketentuan yang bertujuan mencapai tata
tertib dan hukum itu berkenaan dengan
kehidupan manusia ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai
tata tertib berdasarkan keadilan.[8]
Hukum yang sekarang berlaku
di indonesia, yang memberikan akibat hukum kepada peristiwa dalam pergaulan
hidup yang ada pada saat ini,bukan kejadian lampau. Berlakunya hukum dalam
suatu negara di tentukan oleh politik masyarakat negara bersangkutan di samping
kesadaran hukum masyarakat dalam negara itu.
Negara kita belum mempunyai ketentuan
politik hukunya , belum dapat di ketahui karenanya kearah mana penjabat negara
akan membawa hukum kita kecuali mengenai dasarnya yaitu tidak individualis,
melainkan berdasarkan pancasila.[9]
Untuk sekarang kita seperti
tidak memiliki hukum, karena ketidak adilan hukum di indonesia menyebabkan
masyarakat berani melawan hukum dengan salahkan masyarakat kecil karena mereka
mengikuti aliran dari para petinggi.
Berdasarkan kebutuhan untuk
meengorganisasi reaksi yang demikian ini maka macam hukum yang cocok untuk di
pakai ialah hukum pidana,dalam mengamati fungsi ini dengan demikian tampak
bahwa hubungan individu dengan masyarakat terjadi secara langsung , artinya
bahwa perbuatan anggota masyarakat yang menyerang hati nurani sosial segera
memproleh imbalan yang setimpal dengan wujud pemidanaan.[10]
Undang-undang hukum pidana
(KUHP) pasal 340 berbunyi ;barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, di ancam karena pembunuhan dengan
rencana , dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama 20 tahun.[11]
Kesalahan yang sudah di
buktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara
berhak dan berkewajiban untuk menghukumnya. Dalam kasus-kasus kejahatan lain
tuntutan proposional antara kesalahan dan hukum dapat di penuhi oleh denda atau
hukuman penjara.
5. KEBIJAKAN
HUKUM
Kebijakan hukum ialah
keputusan yang sudah pasti, dan tidak dapat di ganggu gugat. Karena adanya undang-undang
yang sudah di tetapkan . Dengan itu hukum sudah memiliki ketetapan yang berlaku
dalam semua kasus tindak pidana. Apapun persoalan hukum yang sudah di tentukan
oleh undang-undang ( KUHP) sesuai
persoalan dan permasalahan yang di perbuat oleh pelaku hukum, Maka pihak pelaku
hukum berhak mendapati tindak pidana sesuai pasal-pasal yang ada di KUHP yang
sudah di tentukan dan di tetapkan oleh kuasa hukum tertentu dan pihak tindak
pidana karena semua permasalahan dalam bentuk apapun semua sudah ada sanksi dan
undang-undang tersendiri karena ada hukum tertulis dan tidak tertulis.
Kebijakan-kabijakan ini
mengacu pada sistem kerja penegak hukum, apa ia bisa melaksanakan tugas secara
bijak dan sesuai dengan ketentuan yang sudah ada, ataukah sebaliknya dengan
kecurangan dan iming-iming uang yang di berikan si terdakwa tersebut. Sehingga
tidak ada kebijakan dalam memberikan hukuman yang seimbang kepada si terdakwa.
Kebijakan yang di miliki
penegak hukum haruslah , yang benar-benar mengacu pada undang-undang yang
berlaku di indonesia, yang sudah ada ketetapan hukumannya.
6. TATA
HUKUM INDONESIA
1. Hukum yang berlaku terdiri
dari dan di wujudkan oleh ketentuan-ketentuan atau aturan hukum yang saling berhubungan dan saling menentukan
misalnya:
a. Aturan hukum tentang
pencabutan hak milik, berhubungan dengan aturan bahwa hak milik di akui.
b. Bahwa ha kmilik adalah fungsi
sosial ,menentukan luas kewenangan seseorang dalam menggunakan hak miliknya
itu.
c. Merupakan satu kesatuan yang
bagiannya saling berhubungan , saling
menentukan dan seimbang.
Tata hukum itu menata,
menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat. Tata hukum berlaku bagi suatu
masyarakat tertentu , dan juga di buat di tetapkan atas daya penguasa
masyarakat itu. Dalam tata hukum cara berhubungan atau cara menentukan maupun
perimbangan antara bagian satu dan bagian yang lain itu adalah tertentu. Misal
imbang antara bagian yang tertulisdan
bagian yang tak tertulis.[12]
2.
Tata hukum indonesia di tetapkan oleh
masyarakat hukum indonesia , maka itu tata hukum indonesia adanya saan ini
Negara Indonesia, yakni sedari 17 Agustus
1945.seperti yang telah di katakan dalam UUD hanya terdapat rangka atau
denah tata hukum indonesia banyak ketentuan masih perlu di selenggarakan lebih
lanjut dalam berbagai undang-undang.[13]
Dalam faham demikian teryata
undang-undang dasar kita itu bukanlah
selubung, melainkan justru inti tata hukum indonesia nasional , yang bertugas memperkembangkannya.tetapi itu pasti
akan di tinggalkan di mana tata hukum nasional itu.
7.
SISTEM HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Islam
adalah salah satu agama yang dianut oleh masyarakat dunia saat ini dan termasuk
di antara agama-agama besar di dunia, jumlahnya tak kurang dari ¼ penduduk
dunia saat ini 6,8 Milyar. Sedangkan di Indonesia menjadi agama yang dianut
oleh mayoritas penduduk, lebih dari 85% jumlah
penduduk. Fakta ini tidak terlepas dari sejarah masuk dan berkembangnya
berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia sejak berdirinya negara Nusantara I
Sriwijaya, negara Nusantara II Majapahit, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebelum kemerdekaan,setelah kemerdekaan, masa orde lama, masa orde
baru, masa reformasi dan hingga saat ini.
Boleh
dikatakan penyebaran Islam di Indonesia hampir sebagian besar merupakan andil
dan peran para pedagang. Mereka yang berstatus sebagai pedagang itu ada yang
dianggap sebagi wali (Wali Sanga) oleh masyarakat di Pulau Jawa. Dalam
menjalankan misinya mendakwahkan Islam, tak jarang para wali menerapkan
strategi dakwah melalui unsur-unsur budaya
Masyarakat tempatanIni dapat dilihat dari seni
yang merupakan akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, misalnya wayang,
penggunaan bedug, seni arsitektur masjid, perayaan keagamaan, dan sebagainya.
Perkembangan terbentuknya negara Indonesia dan
tatanan kenegaraanya itu, jika dilihat dari sisi pengaturan kehidupan beragama
warga negaranya, Indonesia dikatakan bukan sebagai negara agama (teokrasi) dan
bukan pula negara sekuler – oleh Gus Dur dikatakan sebagai “negara yang
bukan-bukan”.
Indonesia dikatakan bukan sebagai negara agama
(teokrasi) yang berdasar penyelenggaraan negara pada agama tertentu saja,
karena negara tidak campur tangan terhadap tata cara pengamalan, ritual
masing-masing agama. Yang diatur adalah administrasi setiap agama yang ada di
Indonesia sehingga dalam menjalankan kegiatan agama dan keagamaan tidak berbenturan
dan mengganggu agama lain.
Di sinilah pentingnya menjaga dan membangun
Kerukunan Umat Beragama sebagai salah satu tugas Negara untuk melindungi setiap
warganya dalam memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaannya.
Indonesia juga bukan negara sekuler apalagi negara atheis, karena negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tercantum dalam Sila Pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 dan pasal 29 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak membenarkan warga negaranya hidup tanpa memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Indonesia juga bukan negara sekuler apalagi negara atheis, karena negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tercantum dalam Sila Pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 dan pasal 29 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak membenarkan warga negaranya hidup tanpa memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konstelasi sistem hukum dunia atau sistem
hukum utama (major legal system), hukum Islam (Islamic Law) diakui dalam
masyarakat Internasional di antara hukum hukum lainnya seperti Hukum Sipil
(Civil Law), Hukum Kebiasan Umum (Common Law), Hukum Sosilis (Socialist Law),
Sub-Saharan Africa, dan Far East.
Hukum Syar’i
Hukum Syar’i, dalam banyak istilah disebut
hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan oleh dalam masyarakat
Indonesia lebih dikenal sebagai Hukum Islam adalah salah satu sub sistem hukum
yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang membentuk (sumber bahan
hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping itu ada dua sub sistem hukum
lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum barat dan hukum adat.
Secara lughawi (etimologis) syari’at berarti
jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus dituruti. Syari’at
juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai. Maka dapat
ditegaskan di sini syari’at adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan
amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum
atau aturan-aturan yang berasal atau dibangsakan kepada syari’at tersebut
disebut hukum syar’i.
Sedangakan syari’at/syari’ah dalam pengertian
terminologis adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah swt, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan
makhluk lainnya.
Di dalam ajaran Islam sendiri tidak dikenal
istilah hukum Islam (hanya merupakan istilah khas di Indonesia). Dalam Alquran
dan Sunnah istilah hukum islam (al-hukm al-islam) tidak ditemukan. Namun yang
lazim digunakan adalah kata hukum syar’i, hukum syara’, syari’at islam, yang
kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqh, artinya adalah menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya (secara
terminologis).
Para ulama fiqh/ushul fiqh kemudian menetapkan
defenisi hukum Islam (selanjutnya pemakalah sebut hukum syar’i) antara lain
sebagai berikut:
- Dikemukakan oleh Al-Baidhawi sebagai berikut: “Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadh’i”. – Dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: “Firman (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan (peruntah dan larangan) atau semata-mata meneragkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang terhadap suatu hukum”.
- Dikemukakan oleh Al-Baidhawi sebagai berikut: “Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadh’i”. – Dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: “Firman (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan (peruntah dan larangan) atau semata-mata meneragkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang terhadap suatu hukum”.
Adapun syari’at dalam literatur hukum Islam,
mempunyai tiga pengertian sebagai berikut:
1.
Syaria’ah
dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa.
2.
Syariah dalam pengertian hukum Islam/Hukum
Syar’i, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun yang dapat berubah sesuai
perkembangan zaman.
3.
Syari’ah
dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari Alquran dan
Hadits (fiqh), yaitu hukum yang diinterpretasikan oleh para sahabat Nabi saw,
hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli
hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.
Dalam Pasal 24 (1)
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan demikian hukum syar’i adalah hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf dalam bidang fiqh Islam (syari’ah),
bukan hukum berkaitan dengan akidah dan akhlak. Karena syari’ah Islam secara
luas meliputi meliputi aqidah/iman/sistem keyakinan, syari’ah/islam/sistem
hukum, dan akhlak/ihsan/sistem moral.
Pada dimensi lain penyebutan hukum syar’i
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah
terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Jika demikian, hukum syar’i
bukan lagi sebagai hukum Islam in absracto (pada tataran fatwa atau doktrin)
melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto (pada tataran aplikasi dan
pembumian).
Sebab secara formal sudah dinyatakan berlaku
sebagai hukum positif, yaitu hukum yang mengikat dalam suatu negara. Misalnya
di Indonesia Hukum Syara’ diterapkan dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam, Undang-Undang Zakat dan Wakaf, dan sebagainya.
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan
perkataan syari’at adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama.
Oleh karena itu jika berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksud adalah hukum
agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh rasulNya,
yakni hukum syari’at, kendatipun kadang-kadang isinya hukum fiqih.
Dari perkataan syari’at kemudian lahir
perkataan tasyri’, artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber
dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyri’ samawi, dan peraturan yang bersumber
dari pemikiran manusia yang disebut tasyri’ wadh’i.
Kalau berbicara tentang hukum Islam di
Indonesia, maka yang dimaksud adalah bagaimana hukum yang berlandaskan hukum syar’i
itu diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi pada kaum
muslimin.
Berbagai pendapat ulama dalam mendefinisikan
hukum syar’i pada prinsipnya sependapat bahwa ia (hukum syar’i) adalah perintah
Allah swt terhadap manusia dalam menjalankan kehidupannya, yang berisi
aturan/pedoman dalam berhubungan dengan Allah swt, sesama manusia dan makhluk
lainnya. Sumbernya berasal dari Alquran dan Alhadits serta ijtihad para ulama,
dan biasanya hanya mencakup masalah fiqhiyyah/ibadah, bukan aqidah dan akhlak.[14]
Dalam pasal
29 (1) dan (2)
(1)Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
8.
NORMA-NORMA BAGI PENEGAK
HUKUM
Yang
dimaksud disini adalah norma-norma atau kaidah-kaidah yang wajib ditaati oleh
para penegak atau pemelihara hukum.
Norma-norma tersebut harus ditaati terutama dalam “menggembalakan ” hukum,
menyusun serta memelihara hukum. Menurut O. Notohamodjojo, ada empat norma yang
penting dalam penegakan hukum yaitu :
a. Kemanusiaan
Norma
kemanusiaan menntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa
diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.
b. Keadilan
Keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi
haknya.
c. Kepatutan
Kepatutan
atau equity adalah hal yang wajib
dipelihara dalam pemberlakuan UU dengan maksud untuk menghilangkan
ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup
manusia dalam masyarakat.
d. Kejujuran
Pemelihara
hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani
hukum, serta dalam melayani “ justiable” yang berupaya untuk mencari
hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist dapat
diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang
curang dalam mengurus perkara.
Jadi,
norma-norma tersebut perlu ditekankan dan dituntut pada setiap pemelihara atau
penegak hukum, terutama pada zaman atau kurun waktu dimana norma-norma Etika
melemah dalam masyarakat . para yurist, melalui penyadaran atas
norma-norma tersebut, diharapkan dapat menjaga moralitasnya yang
setinggi-tingginya di dalam menggembalakan hukum.[15]
9.
CIRI-CIRI DAN UNSUR HUKUM
Hukum memiliki cirri-ciri sebagai berikut
a. Adanya perintah atau larangan
b. Perintah atau larangan itu
bersifat memaksa/mengikat semua orang.
Hukum mengandung beberapa unsur berikut.
a. Peraturan mengenai tingkah
laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu dibentuk badan-badan resmi yang
berwajib/berwenang.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran
peraturan tersebut adalah tegas dan nyata.[16]
10.NILAI-NILAI
HUKUM
a. Hak-hak hukum individu
Perkembangan
individu yang membuat yang membuat berkemampuan sepenuhnya , adalah suatu
gagasan yang lama , yang melekat pada demokrasi. Gagasan tersebut di beri dasar
baru dan lebih dalam oleh konsepsi mengenai hubungan spritual langsung antara
tuhan dan individu.tetapi kecendrungan baru telah memodifikasi individu yang
tak kenal kompromi. Sebagai tujuan masyarakat mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
keadaan di mana kemauan orang lain di bawah hukum umum yang meliputi kebebasan.
Hubungan individu dengan hak sesamanya dalam masyarkat secara bertahap mengubah cecara mendalam
nilai-nilai hukum.di lain pihak masyarakat itu sedang dalam proses memperluas bidang
hak-hak individu.
b. Kebebasan hukum
Penerapan prinsif menyebabkan perubahan secara bertahap dalam
kebebasan individu untuk mengadakan kontrak dengan banyak pembatasan yang telah
di analisa sebelumnya dalam buku ini.
Dalam hal ini kebebasan berkntrak memberi jalan bagi kesederajatan dalam
berunding. Mereka melepaskan kebebasan dalam teori untuk perbaikan materil.
Yang ingin menjadi saingan atau yang karena alasan lain berselisih dengan
pimpinan serikat. [17]
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Jadi hukum di indonesia harus
lebih di tegaskan lagi dengan upaya
untuk membangun negara yang adil,
jujur, dan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang seseorang lakukan ,dan
di hukum berdasarkan ketentuan hukum per undang-undangan.
Dengan adanya ketegasan dan
ketetapan hukum di perlakukan maka seorang yang bersalah tidak akan mengulangi kesalahan yang ia
perbuat di karenakan mendapat hukuman
yang sesuai dan menjerakan si pelaku untuk tidak berbuat kesalahan lagi.maka indonesia harus
memiliki ketegasan dalam menangani masalah hukum di negara kita.
Hukum kita terlalu lemah
untuk sekarang, karna adanya oknum-oknum penegak hukum yang tidak bertanggung
jawab atas jabatannya, memaang tidak terlalu banyak yang berbuat kecurangan,
tetapi dengan adanya kecurangan tersebut membuat penegak hukum ketagihan untuk
melakukan kecurangan tersebut dengan menerima iming-iming yang di janjikan oleh
si pelaku dalam kasus dan masalah yang cukup berat.
Jadikan lah negara kita
sebagai negara yang mempunyai hukum yang tegas, bertanggung jawab dan mempunyai
ketegasan dalang menangani masalah atau kasus-kasus yang terjadi sekarang ini, seperti halnya dengan
kasus yang marak di bicarakan sekarang, seorang indonesia memiliki masalah di
negaranya sendiori lalu ia pergi meninggalkan negara indonesia dan pindah ke negara
lain untuk menghilangkan jejak kesalahannya. Seharusnya penegak hukum harus
bisa menamngani masalah ini dengan mencari dan menghukum seseorang tersebut karna
tindakannya.
2.
SARAN
Sebagai masyarakat Indonesia
maupun masyarakat bawah, menengah ataupun atas/elit kita harus sadar akan hukum
yang berlaku di Indonesia dan juga untuk para penegak-penegak hukum di
Indonesia harus menoleh lagi kepada ketetapan-ketetapan dan norma-norma hukum
yang sudah ada dalam UUD maupun dalam Agama, kalau kita semua ingin ketegasan
hukum harus di tegaskan seperti apa yang di inginkan, maka kiita semua harus
taat dan patuh pada peraaturan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan
dimana saja kita berada.
Saya sebagai penyusun makalah
ini yang mengutip dari beberapa buku dan websites saya harap saran dan kritik
yang membangun dalam pembuatan makalah ini.
Daftar
Pustaka
E. Sumaryono, etika profesi hukum (Yogyakarta:kasinus
1995),h.115
http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/sistem-hukum-islam-di-indonesia.html Diakses dari pada hari
jum’at 26 April 2013
http://nahimunkar.com/1495/mbah-minah-diproses-hukum-anggodo-tidak-dan-para-koruptor-dibebaskan/ Diakses dari pada hari
jum’at 26 April
http://trimenhukumbloganda.blogspot.com/2012/04/perkembangan-hukum-di-indonesia.html diakses pada hari jum’at 26
April 2013
Kusumadi Pudjosewojo,pedoman pelajaran tata
hukum (Jakarta:Aksara Baru.1986).,h.62
Prof. darji Darmodiharjo, S.H. DR. Shidarta,
S.H., M.Hum, filsafat hukum (Jakarta:Gramedia pustaka utama 1995),h.208
Retno Listyarti dan Setiadi pendidikan
kewarganegaraan (Jakarta:Erlangga.2008),h.48
Roscoe pound ,pengantarfilsafat hukum
(jakarta:bhratara 1996),h. 32
Satjipto rahardjo, hukum dan perubahan
sosial(bandung 1983),h.34
Soediman kartohadiprrodjo, pengantar tata
hukum indonesia (bandung: PT.pembangunan ghalia indonesia),h. 19
Soerjanto poespo wardojo, filsafat pancasila
(Jakarta:Gramedia pustaka utara 1989),h.161
W.friedmann,teori filsafat hukum (jakarta:
rajawali pers,1990).,h.45
Yong ohoitimur,teori etika hukum legal
(jakarta:gramedia pustaka utara 1997),h.34
Young ohoitimur,teori etika tentang hukum
legal (jakarta: PT gramedia pustaka utama),h.45
[1]
Soerjanto poespo wardojo, filsafat pancasila (Jakarta:Gramedia pustaka utara
1989),h.161
[2]
Yong ohoitimur,teori etika hukum legal (jakarta:gramedia pustaka utara
1997),h.34
[3]
Prof. darji Darmodiharjo, S.H. DR. Shidarta, S.H., M.Hum, filsafat hukum (Jakarta:Gramedia
pustaka utama 1995),h.208
[4]
http://trimenhukumbloganda.blogspot.com/2012/04/perkembangan-hukum-di-indonesia.html
[5]
Diakses dari
http://nahimunkar.com/1495/mbah-minah-diproses-hukum-anggodo-tidak-dan-para-koruptor-dibebaskan/
[6]
Roscoe pound ,pengantarfilsafat hukum (jakarta:bhratara 1996),h. 32
[7]
Ibid.,h.35
[8]
Soediman kartohadiprrodjo, pengantar tata hukum indonesia (bandung: PT pembangunan
ghalia indonesia),h. 19
[9]
Ibid.,h.49
[10]
Satjipto rahardjo, hukum dan perubahan sosial(bandung 1983),h.34
[11]
Young ohoitimur,teori etika tentang hukum legal (jakarta: PT gramedia pustaka
utama 1997),h.75
[12]
Kusumadi Pudjosewojo,pedoman pelajaran tata hukum (Jakarta:Aksara
Baru.1986).,h.62
[13]
Ibid.,h.63
[14]
http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/sistem-hukum-islam-di-indonesia.html
[15] E. Sumaryono, etika profesi hukum (Yogyakarta:kasinus
1995),h.115
[16]
Retno Listyarti dan Setiadi pendidikan kewarganegaraan (Jakarta:Erlangga.2008),h.48
[17]
W.friedmann,teori filsafat hukum (jakarta: rajawali pers,1990).,h.45